Toba, Mediareportasenews.com
Kelompok Tani Hutan (KTH) di kawasan hutan lindung memiliki peran penting sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam pengelolaan wilayah hutan. Namun apabila ada pihak yang memasuki kawasan tersebut tanpa izin, tentu akan dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku.
Salah satu KTH yang memiliki legalitas resmi adalah Koperasi Parna Jaya Sejahtera (PJS) , milik Krisman Siallagan dengan Jumanti Sidabutar sebagai sekretaris. Koperasi ini menjadi sorotan sejumlah pemerhati lingkungan dan praktisi hukum setelah adanya dugaan pelanggaran yang melibatkan oknum pejabat dan media. Diketahui, KTH PJS telah memegang lisensi dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengelola kawasan hutan di Desa Garoga, Desa Unjur, dan Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo.
Mekar Sinurat, SH, selaku Pemerhati Lingkungan Tapanuli Raya sekaligus Praktisi Hukum, saat dihubungi melalui WhatsApp menyampaikan mengungkapkan atas tindakan mendalam oknum Camat Simanindo bersama tim media nasional yang diperkirakan memasuki kawasan hutan tersebut pada 7 Juli 2025.
“Negara kita adalah negara hukum. Setiap wilayah memiliki adat dan aturan yang berlaku. Memasuki kawasan hutan tanpa izin resmi dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah XIII maupun dari pengelola sah, yakni KTH PJS, sangat memprihatinkan, terutama jika dilakukan oleh pimpinan di wilayah Kecamatan Simanindo,” tegas Mekar.
Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut telah mencakup aturan dan mencederai prinsip penghormatan terhadap sistem perizinan yang telah ditetapkan negara, serta berpotensi melanggar hukum positif. Mekar menjelaskan aturan hukum yang dilanggar, di antaranya:
-
Pasal 17 ayat (1) huruf a dan b UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H):
-
A. Masuk ke dalam kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
-
B. Melakukan kegiatan lain di dalam kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.Sanksinya tercantum pada Pasal 38 ayat (3) UU yang sama: penjara 1–5 tahun dan/atau denda Rp500 juta–Rp2,5 miliar.
-
-
Pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:
-
Melarang setiap orang memasuki kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.Sanksinya diatur dalam Pasal 78 ayat (2): penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp50 juta.
-
Berdasarkan lisensi dari Ditjen PSKL – KLHK, KTH PJS memiliki hak pengelolaan ratusan hektare kawasan hutan selama 35 tahun. Artinya, segala bentuk aktivitas di wilayah tersebut, termasuk dokumentasi, peliputan, survei, maupun intervensi informasi, harus melalui izin resmi dan koordinasi dengan pihak KPH dan KTH sebagai pengelola sah.
Mekar juga menyoroti bahwa jika pejabat publik dan media nasional melakukan peliputan tanpa pemberitahuan resmi dan cenderung membentuk opini negatif terhadap pengelola sah, hal ini dapat menimbulkan kerugian moral, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat pengelola. Dari sudut pandang hukum, tindakan tersebut berpotensi melanggar asas tata kelola pemerintahan yang baik (good governance ), serta dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, baik secara administratif maupun etik.
Sebagai hati pemer lingkungan, Mekar menghancurkan tiga hal penting:
-
Semua pihak, termasuk pejabat pemerintah, wajib mematuhi dan mematuhi sistem hukum serta perizinan pengelolaan kawasan hutan.
-
Aparat penegak hukum dan instansi terkait perlunya mengkonfirmasi kasus ini secara serius agar tidak menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan program Perhutanan Sosial di Indonesia.
-
Media nasional sebagai corong informasi publik harus menjamin proporsional, menghormati izin dan hak pengelolaan, serta mengedepankan prinsip jurnalisme yang etis.
“Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah bentuk implementasi keadilan ekologis. Sudah sepantasnya kita menjaganya dengan mekanisme hukum dan penghormatan terhadap otoritas yang telah ditetapkan,” tutup Mekar Sinurat, pria berkulit sawo matang tersebut.
(Rokki.P)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar